Langit malam itu begitu murung. Jalan raya kian disesaki kendaraan dengan lampu-lampunya yang menyalak. Hampir satu jam lamanya dua roda motor matic memutari jalan raya, mencari arah menuju sebuah kampung yang terkenal dengan acara festivalnya. Ialah Festival Budaya Kampung Cempluk yang berlokasi di Jl. Dieng Atas, Sumberjo, Kalisongo, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Separuh bensin lebih lenyap menjadi asap yang menguap ke udara. Tangan penat menekan gas motor maju-mundur, maju-mundur, begitu seterusnya. Lelah mata menatap denah pada gawai, namun jalan yang dicari hanya membawa manusia lemah ini berkeliling tak berujung.
Hilangnya tenaga dan memuncaknya frustasi kian menambah emosi. Jalan yang dilalui pun malah menambah hati ragu, sebab jalanan sangat jauh dari kata “ramai’. Pemukiman warga terganti dengan kompleks orang-orang kaya.
Hati ini pun bertanya, “Wahai mbah google, kemanakah dikau akan membawa kami?”
Ketakutan akan bayang-bayang tersesat sempat melintas dalam benak. Namun, tekad yang kuat menutupinya agar tak semakin meluap. Hembusan angin dataran tinggi menusuk kulit, dua roda motor matic masih setia menelusuri adimarga.
Hingga tibalah pada suatu pemukiman yang tampak ramai. Lentera-lentera dari kejauhan menjelma bintang-bintang yang seakan mengundang perhatian bagi siapa saja yang memandang. Teriakan “Terus.. terus..,” berpacu dengan suara desing kendaraan.
Pria paruh baya bersama dua anak muda duduk dekat sebuah meja yang sengaja diletakkan di tengah jalan. “Tiga ribu mbak,” katanya seraya memberikan secarik kertas bertuliskan Festival Kampung Cempluk. Di bawahnya tertera harga parkir, motor Rp 3000,00 rupiah, mobil Rp 7000,00 rupiah, gambar Leak beserta tulisan aksara Jawa di bawahnya, dan lampu tradisional cempluk di sampingnya.
Setelah mengistirahatkan motor matic, sebuah gapura sederhana bertuliskan “Sugeng Rawuh” dan patung buatan dari kayu berbentuk cempluk menyambut suka cita. Langkah kaki pun menuju sebuah bazaar yang sudah disesaki para insan sedang memburu makanan.
Berjejer pondok-pondok kecil berisi jajanan tradisional hingga masa kini dijajakan sepanjang jalan kampung yang masuk dalam kategori kampung tematik nusantara itu. Pernak-pernik mainan juga dijajakan. Lentera temaram mewarnai pondok-pondok membawa nostalgia nuansa tempo dulu.
Ada pula permainan rumah hantu, bioskop horor, dan lempar berhadiah jam yang kian memikat keramaian pengunjung. Pagelaran pentas budaya pun jadi pemeran utama dalam festival ini. Ratusan pengunjung beramai-ramai menuju sepetak lapangan kosong, tempat sebuah panggung digelar.
Di bawah langit yang tertutup awan, pelbagai pergelaran diunjukkan. Dua pewara berbusana baju adat Jawa mempersilakan pengisi-pengisi acara menampilkan atraksinya. Muali dari anak-anak hingga dewasa turut berpatisipasi.
Sayangnya hanya separuh saja yang bisa ditonton, sebab waktu tekuras mencari kawan yang tak kunjung muncul batang hidungnya. Namun, penampilan-penampilan yang menarik masih bisa disaksikan, dari Tarian Golek Gatrung, Tarian Nusantara, Fashion Show, Konser Teater, hingga pembacaan puisi.
Tampilan yang menarik dan mengundang perhatian pemirsa ialah tarian tradisional Sudan Selatan yang dibawakan oleh warga asli Sudan sendiri. Saat sound system berbunyi lagu yang tak dikenal, orang-orang itu satu persatu naik ke atas panggung, penonton refleks mengabadikannya. Jepretan demi jepretan tercetak sudah dalam kamera.
Sebuah keunikan tersendiri dapat menyaksikan langsung tarian tradisional dari Sudan Selatan di festival budaya Malang Raya ini. Jarang ada yang menampilkan tarian Sudan Selatan di sebuah pementasan, yang paling sering hanyalah dari Korea Selatan.
Suasana malam itu kian ramai. Riuh tepuk tangan menggema di sudut-sudut ranting pepohonan yang melambai. Awan masih setia menutupi angkasa. Bulan purnama dan bintang pun terpaksa bersembunyi di baliknya.
Meski bumantara tak menampakkan keindahannya, namun bumi Kampung cempluk menghibur para insan-insan yang duduk di sana. Kilat-kilat lampu panggung juga tak kalah ikut menyemarakkan suasana.
Setelah dari pelbagai aksi ditampilkan, pertunjukan banteng unjuk muka sebagai puncak sekaligus penutup acara. Pengunjung semakin antusias hingga berlomba merapat ke panggung. Namun, panitia menyuruh mereka untuk mundur sebab demi keselamatan nyawa, katanya.
Betul saja, atraksi api ditampilkan di depan panggung. Berbahaya jika percikannya mengenai tubuh pengunjung. Meski begitu, jepretan foto tak luput dari gawai mereka. Mereka terkesima melihat sekaligus beringsut takut terkena panas apinya.
Riuh tepuk tangan kembali menggema di tengah dinginnya malam. Kali ini, empat bantengan dan singo barong ingin menunjukkan aksinya. Persembahan menyan dihadirkan pada pembukanya. Aroma menyengat kemenyan begitu menusuk hidung. Kepulan asap mengepul di udara.
Cuitan-cuitan penonton semakin menegangkan suasana. Musik karawitan Mpu Sopo Songgoroti mengiringi jogetan para banteng dan barongan. Sesekali penoton berdiri, penasaran apakah ada yang sudah kesurupan. Satu hal yang paling diincar, “mengundang setan”.
Namun bukannya mendapatkan apa yang diinginkan, malah terkena semprot penonton yang di belakang agar duduk ,sebab mereka tak bisa melihat pertunjukan. Penampilan sudah berjalan sedikit lama, namun para pemain masih belum ada yang “kalap”.
Tak terasa empat jam malam menemani festival budaya, semenjak sang surya berlabuh ke peraduannya. Bantengan pun diakhiri dengan kekecewaan penonton sebab tak ada yang kesurupan. Panitia memang tidak menginginkan hal itu terjadi sebab dinilai membahayakan.
Para penonton beranjak dari singgasananya, meninggalkan panggung beserta pengurusnya. Rintik-rintik hujan pun mulai turun, menerpa wajah-wajah lesu bercampur bahagia. Suara mesin kembali berdesing, motor matic bangun dari rehatnya
Festival budaya malam itu pun berhenti di sini. Namun kemeriahannya tak berahir sampai di sini, sebab festival masih digelar hingga Sabtu pekan ini. Meski hari ini berakhir dengan sedikit kekecewaan, namun jangan khawatir sebab masih ada hari- hari lain yang tak kalah meriah dan menarik hati. Jadi, jangan sampai terlewatkan.