Suatu hari, seorang pemuda diajak pamannya ke toko buku. Di sanalah dia dikenalkan oleh pamannya dengan buku. Sejak saat itu, ia suka membaca dan tumbuh sebagai pemuda yang mencintai buku. Sampai-sampai pada akhir hayatnya dikisahkan kalau ia memiliki 30 ribu buku dalam genggamanya. Tahukah kita, siapa pemuda yang kita maksud? Orang yang kita maksud adalah Mohammad Hatta atau akrab disapa bung Hatta.
Bung Hatta dikenal sebagai satu dari sekian banyak pahlawan kemerdekaan Indonesia yang memiliki banyak peran, baik sebelum maupun pasca kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta dikenal sebagai negarawan, ekonom dan wakil presiden pertama Indonesia. Ia bersama dengan bung Karno memainkan peran penting dalam membidani berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya termasyhur sebagai dwi tunggal bangsa Indonesia.
Mohammad Hatta dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di Batu Hampar, Sumatera Barat. Sebenarnya ia memiliki nama asli Muhammad Athar, namun dikarenakan sebuah hal, yakni problem dialek dalam berbahasa, menjadikan namanya lebih sering didengar sebagai Mohammad Hatta.
Pendidikan bung Hatta diawali semenjak ia menempuh pendidikan dasar di sekolah Melayu, Bukittinggi yang kemudian pada tahun 1913-1916, Hatta muda melanjutkan studinya di Europeesche Lagere School (ELS).
Sejak belia, Mohammad Hatta, memang sudah dikenal sebagai anak yang cerdas, terbukti dari kisah hidupnya yang pada umur 13 tahun telah lulus ujian untuk melanjutkan studinya di tingkat HBS (setingkat dengan SMA).
Namun, dikarenakan oleh ibunya dianggap usia Hatta masih terlalu muda, maka Hatta kecil mengurungkan studi tersebut. Baru pada tahun 1919, Hatta melancong ke Batavia untuk bersekolah di HBS. Berlanjut pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam untuk belajar ilmu perdagangan dan bisnis di Rotterdam School of Commerce.
Di Rotterdam inilah, awal pergerakan politik Bung Hatta lekas berkembang begitu pesat. Saat itu, ia masuk dalam organisasi yang diberi nama Perhimpunan Indonesia sebagai Bendahara Umum, hingga pada akhirnya ia diamanahi sebagai pimpinan tertinggi di organisasi tersebut. Fokus dari Perhimpunan Indonesia adalah mengamati perkembangan pergerakan di Indonesia dengan jalan memberikan banyak ulasan dan komentar lewat media massa Indonesia.
Tatkala mendengar kisah bung Hatta, penulis terpesona dengan kesukaan bung Hatta membaca. Seperti yang dilansir di dalam Republika.co.id, dikatakan bahwa bung Hatta sangat jatuh hati terhadap dunia pendidikan dan literasi.
Bung Hatta selalu membawa 8.000 bukunya yang dimasukkan ke dalam 14 peti di saat kembali dari Belanda. Bahkan, kecintaannya terhadap buku, menjadikannya di saat menikah, memberikan kepada sang istri mas kawin berupa tulisannya yang bertajuk Alam Pikiran Yunani.
Sebagaimana yang dikutip dari IDN.Times, setidaknya ada 5 hal yang begitu menunjukkan, bahwa bung Hatta sangat mencintai buku. Ia senantiasa menyisihkan uang sakunya untuk membeli buku. Menyisihkan uang saku bukanlah hal yang mudah bagi siswa. Menyisihkan uang saku biasanya dilakukan oleh siswa guna membeli sesuatu yang sangat diinginkannya. Ambil contoh seperti banyaknya siswa sekarang yang menyisihkan uang sakunya untuk membeli kaos branded, menonton konser, ngedate dengan pacar dan lain sebagainya.
Apalagi bagi siswa yang menggemari K-Pop, sudah barang tentu mereka menyisihkan uang sakunya guna sekadar membeli pernak-pernik dan foto artis idolanya. Namun, bung Hatta sangat berbeda. Ia menyisihkan uangnya untuk membeli buku, disinilah sangat terlihat bahwa bung Hatta cinta terhadap buku.
Hal yang selanjutnya ialah bung Hatta sangat posesif terhadap buku-bukunya. Jika biasanya posesif ini ditujukan kepada pacar, bung Hatta sendiri sangat posesif kepada buku. Bung Hatta sangat kesal ketika buku yang dipinjamkan tiba-tiba rusak, terlipat atau hilang. Bahkan bung Hatta pernah menyuruh keponakannya untuk mengganti bukunya dikarenakan masalah yang sepele, yakni karena buku yang dipinjam keponakannya ada satu halaman yang terlipat.
Ketiga adalah selalu membawa buku ke mana-mana. Ada sebuah kisah di saat bung Hatta pulang dari pembuangannya dari Banda Neira, ia dipulangkan naik pesawat kecil. Dikarenakan pesawat itu hanya dapat menampung maksimal 120 kilogram, maka Bung Hatta terpaksa meninggalkan bukunya tapi juga meninggalkan salah satu anak angkatnya yang ia perintahkan untuk menjaga buku-buku tersebut sementara waktu. Di sini sangat terlihat bahwa bung Hatta sangat tidak ingin meninggalkan bukunya, kecuali ada keluarga yang menjaga.
Selanjutnya, bung Hatta sangat disiplin dalam merawat buku. Dalam merawat buku, bung Hatta memiliki cara tersendiri. Seperti membaca buku dalam keadaan duduk dan penerangan yang memadai, tidak pernah membubuhkan coretan meskipun pada bagian yang penting, serta tidak pernah menandai buku dengan melipatnya.
Terakhir, bung Hatta memiliki waktu tersendiri untuk berpacaran dengan buku-bukunya. Dalam setiap harinya, bung Hatta menghabiskan 6-8 jam guna berduaan dengan buku. Meluangkan waktu segitu banyaknya untuk buku, bukanlah hal yang mudah, kecuali bagi banyak orang yang benar-benar cinta kepada buku. Bung Hatta sangat percaya bahwa dengan buku ia merasa senantiasa bebas. Meskipun ia berada dalam pengasingan maupun penjara, Bung Hatta tidak pernah merasa kesepian, asalkan buku ia bawa.
Walhasil, Om berkacamata yang dipanggil Bung Hatta ini mengajarkan kepada generasi masa kini agar selalu membuka cakrawala dan ilmu pengetahuan dengan banyak membaca dan berdua dengan buku. Ia juga mengajarkan agar kita merawat buku-buku kita, karena buku kita jadi tahu rahasia dunia. Buku adalah jendela dunia, maka dari itu ketika kita ingin tahu tentang dunia.
Banyak pelajaran dari kisah Hatta. Membaca Hatta mengajarkan kisa mengapa harus membaca dan mencintai buku. Dengan ilmu pengetahuanlah suatu bangsa bergerak maju demi cita-cita bernegara.
Mohammad Hatta tidak hanya mengajarkan untuk membaca buku saja, tapi juga mengharuskan untuk berani berpikir dan bertindak. Karena membaca, berpikir dan bertindak adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, laksana kisah cinta Layla Majnun.