Sedari kecil aku selalu merasa iri pada mereka yang punya prestasi dan mendapatkan banyak pujian dari orang lain. Pada mereka yang selalu bisa melakukan banyak hal mengagumkan dan pada mereka yang memiliki banyak hal yang tak kumiliki. Rasanya selalu saja rumput tetangga lebih hijau. Begitulah kisah refleksi hidupku, kini.
Misalnya saja ketika SD, aku selalu merasa iri pada temanku yang cantik wajahnya. Ia selalu diperlakukan berbeda oleh siapa pun yang dijumpainya. Mulai dari guru yang seolah sangat akrab dan kerap melontar pujian, walau secara akademik nilainya tidak bagus-bagus amat, hingga pedagang jalanan yang kerap mendahulukannya dalam antrean.
Selalu menjadi pusat perhatian dalam sebuah pergaulan, yang tanpanya tak akan seru sebuah perjumpaan. Si Cantik itu selalu menjadi sumber tawa dan keseruan. Ia ibarat telaga di tengah gersang padang pasir, ibarat angin sepoi di tengah terik.
Sedangkan aku?
Hadirnya terabaikan, bahkan kadang perusak suasana. Aku selalu merasa, baik ada maupun tidak adanya hadirku, sama sekali tak akan mempengaruhi jalannya keseruan mereka. Aku selalu berandai-andai. Andai aku secantik itu, barangkali aku tak akan dihiraukan, aku akan disambut ceria.
Lalu kemudian menyalahkan si Cantik dengan sejuta pesonanya. “Enak ya jadi orang cantik“, “Aku tidak secantik kamu untuk bisa bergaul dengan orang lain.” Lalu berakhir dengan membenci orang lain. Terutama pada si Cantik, pusat perhatian semua orang.
Ada pula temanku yang satu lagi, si Pintar. Siapa yang tak iri pada si Rangking 1, siapa yang tak iri padanya yang kerap dipuji dan ditatap penuh kagum oleh orang lain. Lebih lagi, ia sama cantiknya pula dengan Si Cantik.
Mungkin ia bukan pusat pergaulan seperti si Cantik, tetapi hadirnya selalu diharap dan dinanti. Bak tuan putri di negeri fantasi, yang datang dengan gaun cantik dan disambut dengan sorak sorai di segala penjuru negeri.
Pernah sekali waktu, aku duduk sebangku dengannya. Aku kerap meminta bantuannya terhadap soal yang tak kutahu. Luar biasa, nilaiku berubah lebih baik karena penjelasannya lebih mudah dipahami. Namun rupanya, tak seperti yang kuharapkan, bahwa aku akan mendapat pujian serupa si Pintar.
Ihwal terjadi justru sebaliknya, tuduhan mencontek. Seolah-olah, duduk di samping si Pintar, lalu mendapat nilai yang lebih baik dari sebelumnya adalah sebuah dosa yang tak termaafkan. Pada akhirnya, semua persoalan berakhir dengan dipindahnya tempat dudukku menjauhi si Pintar.
Lagi, aku berandai-andai dan menyalahkannya.
Hal itu terus-menerus berlanjut, merembet ke banyak hal dalam hidupku dan dalam pergaulanku dengan orang lain. Sampai akhirnya, semakin dewasa usiaku dan semakin bertumbuh pikiranku, aku sadar bahwa selama ini yang kulakukan hanya menyalahkan orang lain.
Menyalahkan orang lain yang selalu bertindak pilih kasih, menyalahkan orang lain yang kerap tidak mengerti diriku, menyalahkan orang lain yang hanya bisa menuduhku, menyalahkan orang lain atas sakit hati dan ketersinggungan yang kualami, dan menyalahkan orang lain karena hidupku yang tak sebaik hidup mereka.
Entah sejak kapan, aku tak lagi memikirkan tentang orang lain dan ucapannya. Aku berubah menjadi seseorang yang terfokus pada diriku sendiri dan duniaku. Seolah ada teritori tersendiri yang memisahkan wilayahku dengan orang lain.
Aku mulai belajar, ketika sebuah kesulitan atau hambatan terjadi, maka yang salah bukan orang lain, bukan juga keadaan, apalagi Tuhan, tapi diriku sendiri. Bisa jadi memang diriku yang salah ambil keputusan, salah mempertimbangkan, atau bisa jadi pula diriku yang tak benar dalam penyikapan.
Aku mulai belajar, untuk menghadapi dan menerima segala kemungkinan buruk yang bisa atau telah terjadi. Setelah itu, memperbaikinya sedikit demi sedikit, dengan usahaku bukan dengan mengandalkan manusia lain, dan tentunya yang utama adalah meminta bantuan Allah.
Entah bagaimana hal itu membuatku tak lagi bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan masalahku. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, diperbaiki atau dilepas pergi, kupikir itu yang selama ini terus kupegang dan kupercayai dalam hati.
Aku selalu ingat perkataan salah seorang da’i, katanya “Seringkali meminta tolong pada manusia itu mengecewakan, kadang bukan karena mereka jahat, tapi karena memang mereka tak mampu.” Manusia dengan segala keterbatasannya, bukanlah tempat terbaik untuk diminta pertolongan.
Lagi-lagi, kita memang harus kembali meminta pada sang Pencipta. Yang paling tahu harap hati, yang paling tahu bisik pilu di relung terdalam nurani, dan pastinya yang paling mengerti mana pilihan terbaik untuk hari ini dan di masa depan nanti.
Setelah itu, yang paling bisa diandalkan adalah diri sendiri. Sebab pada akhirnya, mau bagaimana pun perlakuan dan perkataan orang, yang memutuskan adalah diri kita sendiri. Akankah masa depan kita baik atau buruk, tak pernah bisa ditentukan oleh orang lain, semua berdasarkan keputusan yang telah diri ini ambil.